POLITIK - Pagi itu, suasana di markas tim sukses Bupati yang petahana tak terlalu formal. Di meja panjang ruang rapat, ada tumpukan kertas, beberapa laptop menyala, dan tentu saja, gelas-gelas kopi hitam pekat. Tapi meski kopi hitam mendominasi, obrolan mereka jauh dari sekadar obrolan warung kopi biasa.
Angga, ketua tim sukses, duduk di ujung meja dengan serius. Ia menatap kawan-kawannya, yang meski terlihat santai, sebenarnya sedang memutar otak keras-keras. "Teman-teman, pemilihan sudah di depan mata, " Angga membuka pembicaraan. "Kita harus pastikan strategi kita matang, jangan sampai kalah sama yang baru-baru itu."
Doni, si pengamat lawan yang terkenal suka memperhatikan detail-detail kecil, menyeringai sambil menyeruput kopinya. "Lawan kita, Bang, memang bukan anak kemarin sore. Tapi tenang, saya sudah pantau gerakan mereka. Program mereka ada, tapi sejujurnya belum ada yang bikin terpesona. Cuma, jangan lupa, kita tetap harus hati-hati. Saya lihat mereka mulai nyebar isu soal petahana, walaupun masih samar-samar."
Angga mengangguk. "Iya, kita tetap fokus ke kampanye positif aja. Serangan balik jangan kasar-kasar. Kalau kita terlalu keras menyerang, bisa-bisa malah blunder."
Sari, koordinator lapangan yang selalu lincah ke sana kemari, mendadak bersuara. "Betul tuh, Bang. Tapi di lapangan, masyarakat itu butuh lihat aksi nyata. Saya usul, kita buat lebih banyak acara turun ke masyarakat. Bupati harus sering-sering nongol di kampung-kampung, ngomong langsung sama warga, biar mereka merasa dekat."
Budi, si spesialis media sosial yang lebih banyak bicara lewat meme ketimbang kata-kata langsung, langsung mengangkat tangan. "Setuju! Dan jangan lupa, kita gencarin di Instagram dan Facebook. Sekarang, kalau nggak nongol di sosmed, bisa-bisa dianggap nggak eksis. Saya siap bikin video pendek tentang pencapaian Bupati, yang viral-able pastinya!"
Baca juga:
PPK Luwu Utara di Bimtek Sidalih
|
Angga tersenyum mendengar semangat Budi. "Oke, Budi. Tapi inget, jangan cuma yang formal-formal. Biar nggak kaku, bikin yang agak lucu. Rakyat itu lebih suka konten yang bikin ketawa, tapi tetap ada isinya."
Doni, yang selalu serius, ikut menimpali sambil tersenyum tipis. "Ya, tapi lucu yang cerdas, ya. Jangan sampai jatuhnya kayak iklan sabun cuci. Dan inget, kita juga harus siap-siap hadapi black campaign. Kalau tiba-tiba ada gosip aneh-aneh soal petahana, kita harus segera klarifikasi. Tim hukumnya udah siap, kan?"
"Tenang, Don, " jawab Angga sambil memegang pundak Doni. "Kita nggak akan biarkan gosip murahan merusak kerja keras kita. Tapi sekali lagi, kita fokus ke hal yang penting dulu: solidkan basis pemilih."
Suasana sedikit mereda. Semua mulai berpikir. Hingga tiba-tiba Sari meletakkan gelas kopinya ke meja dengan bunyi klak yang cukup nyaring. "Eh, Bang, saya juga mikir, nih. Jangan lupa, kita harus gandeng tokoh-tokoh masyarakat juga. Mereka punya pengaruh besar. Kalau kita bisa dapat dukungan dari mereka, saya yakin suara rakyat makin solid."
Angga mengangguk lagi, kali ini dengan lebih mantap. "Betul, Sari. Itu yang kita perlukan, koneksi kuat ke lapisan bawah. Kita nggak boleh cuma sibuk di media sosial aja, ya kan, Budi?"
Budi hanya mengangguk-angguk sambil tetap fokus di laptopnya, mungkin sudah mulai bikin meme baru untuk kampanye. Sari, di sisi lain, sudah siap untuk terjun ke lapangan lagi. Dia tahu, bukan cuma meme yang bisa mempengaruhi orang, tapi juga sentuhan personal.
Angga menghirup kopinya pelan, lalu menatap sekeliling ruangan. "Oke, teman-teman. Agenda kita jelas: media, lapangan, penggalangan dana, dan pantau terus lawan. Kita nggak boleh lengah. Dengan strategi ini, insya Allah kita menang."
Semua mengangguk dengan semangat. Di balik kopi hitam yang mulai dingin, obrolan mereka jadi titik awal perjuangan menuju kemenangan. Karena di politik, sebagaimana di kopi, rasanya yang pahit kadang justru bikin mata makin terbuka.
Jakarta, 03 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNJ/Akademisi